Selasa, 28 Februari 2012

Indonesia memiliki beberapa Piramida!

[Always Updated] Ternyata, Indonesia memiliki beberapa Piramida!


Ternyata, Indonesia memiliki Beberapa Piramida!


IN ENGLISH
ENGLISH
 Berburu Piramida Nusantara
Sekelompok orang menelisik peradaban tinggi masa silam.
Ada bukit menyimpan piramida?

“Pengujian Geolistrik oleh team Turangga Seta bersama LIPI dan BPPT sudah selesai dan hasilnya positif Pyramid, setelah pengujian maka tahap berikutnya adalah penyingkapan tanah penutup lokasi, semoga dalam waktu dekat kita berhasil mengadakan negosiasi dgn pejabat terkait utk membuka kebesaran leluhur kita.” (Turangga Seta, February 12, 2011)

*
Type of research  : Geology & Archeology
Search research  : The Indonesian Pyramid
Location                : West Java Region
Sub Location       : Lalakon Hill and Sadahurip Hill
===========================================
  1. Lalakon Hill (lat=-6.9585052 : lon=107.5204039)
    Desa Jelegong, Kecamatan Kotawaringin, Kabupaten Bandung, West Java.
  2. Sadahurip Hill (lat=-7.1799258 : lon=108.0416107)
    Desa Cicapar Pasir, Kabupaten Garut, West Java. Sada=bunyi (sound), Hurip=kehidupan (life). Sadahurip = Bunyian Kehidupan (sound of life)
*
Dahulu kala, seluruh badan Candi Borobudur tertimbun oleh tanah dan abu vulkanik dan terlihat sebagai bukit yang menyerupai piramid. Setelah dibongkar, terlihatlah sebuah Candi Buddha terbesar di dunia tak terkalahkan hingga kini.
Menurut National Geographic, bentuk Candi Borobudur adalah piramid, sama seperti piramid di Giza Mesir dan piramid Kukulcan di kompleks Chichén Itzá Mexico.
Masih menurut National Geographic, masih ada beberapa bangunan kuno berbentuk piramid di dunia yang belum terbongkar. Sejarah candi Borobudur tersebut adalah suatu bukti yang NYATA atas bukit piramid dimasa lalu.
*
Tulisan atau artikel yang paling bawah adalah yang terbaru (updated)
*


Persiapan Penelitian

Senin 28 Februari 2011, Mentari nyaris berada di atas ubun-ubun, saat empat mobil menepi di pinggiran Jalan Raya Soreang-Cipatik, medio Februari 2011. Siang itu, Kampung Badaraksa yang terletak di lereng bukit, kedatangan tamu.
Rombongan itu menyusuri  jalan kecil mendaki di tengah pemukiman penduduk, hendak menuju ke atas puncak Gunung Lalakon, yang terletak di Desa Jelegong, Kecamatan Kotawaringin, Kabupaten Bandung.

Gunung Lalakon, Bandung, West Java
Gunung Lalakon, Bandung, West Java
Dari Kampung Badaraksa yang berada di ketinggian sekitar 720 m di atas permukaan laut, mereka bergegas naik memutari bukit dari bagian selatan ke barat.
Sambil membawa berbagai peralatan dan beberapa gulungan besar kabel, rombongan membelah hutan gunung.
Derap langkah kaki mereka seolah berkejaran dengan ritme suara jengkerik, dan tonggeret di kanan-kiri.
Tim yang terdiri dari sekelompok pemuda dan para peneliti itu, akhirnya sampai di puncak setinggi 988 meter dari permukaan laut.
Gunung Sadahurip, Kabupaten Garut, West Java.
Gunung Sadahurip, Kabupaten Garut, West Java.
Kabel direntang. Tim mulai memasang alat geolistrik yang mereka bawa. Sebanyak 56 sensor yang dipasangi altimeter (alat pengukur ketinggian) diuntai dari puncak bukit ke bawah lereng, masing-masing berjarak lima meter, dicatu oleh dua aki listrik.
Alat-alat itu berfungsi mendeteksi tingkat resistivitas batuan, dan bisa digunakan menganalisa struktur kepadatan batuan hingga ratusan meter ke bawah.  “Tujuan kami saat itu mengetahui apakah ada bangunan tersembunyi di dalam gunung,” kata Agung Bimo Sutedjo, di Jakarta, Selasa, 15 Februari 2011.
.

Turangga Seta

Agung adalah Pendiri Yayasan Turangga Seta, organisasi yang punya hajat penelitian di gunung itu. Bak tokoh fiksi Indiana Jones, awak Turangga Seta memang punya kegemaran memburu jejak sejarah. Bukan atas hasrat memiliki, tapi mengungkap kegemilangan sejarah nenek moyang di masa lalu.
Komunitas itu berdiri sekitar 2004, digawangi oleh sekelompok profesional di berbagai bidang. Ada pengajar, kontraktor bangunan, pegawai negeri sipil, karyawan perusahaan swasta, juga mahasiswa. Beberapa di antara mereka punya kepekaan lebih terhadap kehadiran gaib, atau istilah keren mereka: parallel existence.
Kami ini semua anak-anak MIT. Bukan Masachussetts Institute of Technology, tapi Menyan Institute of Technology,” kata anggota Turangga Seta Hery Trikoyo, bergurau. Sebab, dalam melakukan perburuan terhadap situs sejarah, kadang mereka mendapat sokongan informasi lokasi dari ‘informan tak kasatmata’.
Namun, karena dasarnya mereka adalah anak-anak yang mengenyam pendidikan tinggi, dorongan mereka membuktikan informasi tersebut, mengalir deras. Tak jarang para ‘arkeolog partikelir’ ini keluar malam-malam usai jam kerja, untuk menggali sebuah tempat demi membuktikan kebenaran hipotesa mereka.
.

Penelitian

Setelah mereka menemukan benda sejarah yang mereka maksud, lalu mereka menimbunnya kembali, tanpa diketahui oleh masyarakat umum. “Kami khawatir bila diketahui banyak orang, malah diambil atau dicuri,” kata Agung.
Kali ini, kedatangan mereka ke Gunung Lalakon dalam rangka membuktikan teori mereka, bahwa ada sejumlah piramid di Indonesia. Salah satu informasi awal didapatkan dari tafsiran mereka terhadap relief Candi Penataran.
Turangga Seta percaya bahwa kebudayaan Nusantara lebih tua daripada Kebudayaan Sumeria, Mesir, atau Maya. Mereka haqul yakin Indonesia memiliki situs candi atau piramida yang lebih banyak dan lebih megah dari peradaban Mesir dan Maya.
Ada ratusan piramida di Indonesia, dan tingginya tak kalah dari piramida Giza di Mesir yang cuma 140-an meter,” kata Agung. Meski masih harus diuji secara ilmiah, pandangan Agung senada dengan teori Profesor Arysio Santos, yang menyebutkan Indonesia adalah peradaban Atlantis yang hilang.
Keyakinan ini tentu saja membuat banyak orang mengernyitkan dahi.  Turangga Seta sempat mem-post keyakinan mereka ihwal keberadaan piramida di Indonesia di sebuah forum online. lengkap dengan foto-fotonya. Hasilnya, mereka menuai cemoohan dan tertawaan. “Nanti, kalau semuanya terbukti, mereka tak bisa lagi tertawa,” kata Agung berapi-api.

sebaran lokasi Piramida-Piramida di Indonesia
sebaran lokasi Piramida-Piramida di Indonesia
Agung mungkin sedang sesumbar. Tapi, bisa juga tidak. Usai pengujian geolistrik di Gunung Lalakon, para peneliti yang datang bersama Agung cs. terbengong-bengong. Mereka bukan sembarang peneliti. Mereka adalah peneliti papan atas. Beberapa adalah pakar geolog ternama, yang kredibilitasnya tak diragukan. Tapi karena datang atas nama pribadi, kehadiran mereka di sana tak mau diungkap.
Selama ini saya tidak pernah menemukan struktur subsurface seperti ini. Ini unnatural (tidak alamiah),” kata pakar geologi yang wajahnya sering terlihat di berbagai stasiun TV itu.
Lazimnya, sebuah lapisan tanah atau lapisan batuan akan menyebar merata secara menyamping atau horisontal. Tapi hasil uji geolistrik menyatakan terdapat semacam struktur bangunan yang memiliki bentuk seperti piramida, dan di atasnya terdapat lapisan batuan tufa dan breksi dengan pola selang-seling secara bergantian.
Pola batuan tufa dan breksi ini berulang secara melintang bukan mendatar, dengan kemiringan sama. “Seolah-olah piramida ini diuruk dan dibronjong secara sengaja, agar tak longsor,” kata Hery, yang berprofesi sebagai konsultan kontraktor bangunan.
Dalam lanjutan rekaman video berikutnya, pakar geologi tadi menunjuk sebuah bentukan berwarna biru. Dalam hasil uji geolistrik, warna biru menandakan sebuah tempat yang punya resistivitas paling rendah.  “Ini mungkin semacam rongga yang bisa berisi air atau tanah lempung,” pakar geologi itu menerangkan. Bentukan tadi menyerupai semacam pintu.
Yang jelas, pakar geologi itu melanjutkan, kemungkinan besar temuan itu adalah struktur buatan manusia, karena proses alamiah sepertinya tak mungkin menghasilkan pola batuan semacam itu. “Ini jelas man-made,” kata dia.

Salah satu pakar geologi yang turut dalam penelitian ke Gunung Lalakon bersama tim Turangga Seta awalnya ia menampik, dan mengatakan tak tahu-menahu keberadaan struktur bangunan mirip piramida di bawah Gunung Lalakon. Tapi belakangan secara tersirat ia mengakui hal itu.
Saya no comment,” kata geolog kawakan Andang Bachtiar, Rabu 23 Februari 2011. Lebih jauh, mantan Ketua Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI) itu mengatakan hasil analisis itu masih belum bisa menyimpulkan apa-apa. Masih banyak hal yang perlu dibuktikan, kata Andang.
Tapi Andang kemudian mengaku, selain ke Gunung Lalakon di Bandung, juga ia mendampingi tim Turangga Seta menguji bukit serupa di daerah Sukahurip, Pengatikan, Kabupaten Garut, Jawa Barat.
Menurut Agung, timnya sudah melakukan pengujian geolistrik dan uji seismik di 18 titik di beberapa tempat di Indonesia. Di Bandung dan di Garut, mereka mendapat hasil kurang lebih sama. Semua serupa: indikasi adanya sebuah struktur bangunan yang mirip piramida di bawah bukit.
Bedanya, di bukit-piramida di Garut tak dijumpai adanya rongga seperti pintu, seperti halnya di Bandung. “Mungkin karena kami hanya mengujinya di salah satu bagian lereng bukit saja,” kata Hery Trikoyo.  Sayang, Turangga Seta masih menutup rapat hasil uji mereka di tempat lainnya.
***
Turangga Seta mengklaim masih ada ratusan piramida lain yang tersebar di seluruh Indonesia. Salah satu pentolan Turangga Seta lainnya, Timmy Hartadi, dalam laman Facebook mereka mengatakan bahwa piramida-piramida itu tersebar di Sumatera, Jawa, Bali, Kalimantan, Sulawesi dan Papua.
Klaim penemuan sebuah piramida tersembunyi di dalam bukit, tak hanya terjadi di Indonesia. Klaim ini juga sempat muncul di Bosnia. Pada 2006, seorang pengarang bernama Semir Osmanagic mengklaim penemuan ini, dan sempat mengatakan mereka menemukan piramida tersembunyi di bukit Visocica, kota Visoko, yang terletak di barat laut Sarajevo.
Osmanagic mengatakan penggalian piramida itu melibatkan arkeolog dari Australia, Austria, Irlandia, Skotlandia dan Slovenia. Namun, beberapa arkeolog yang disebut Osmanagic menolak klaim tersebut.
Seperti dikutip dari situs Archaeology.org, arkeolog dari Kanada yang disebut Osmanagic, Chris Mundigler mengaku tak pernah mendukung atau setuju bekerja di proyek tersebut. “Skema ini adalah sebuah kebohongan keji terhadap masyarakat awam, dan tak akan pernah mendapat tempat di dunia ilmu pengetahuan,” kata pernyataan resmi dari Asosiasi Arkeolog Eropa.
Bagaimana dengan klaim piramid di Bandung dan di Garut?
Secara geomorfologis, bentuk Gunung Lalakon di Bandung maupun Gunung Sadahurip di Garut memang memiliki bentuk yang mirip dengan piramida. Mereka memiliki empat sisi yang nyaris simetris.

Gunung Sadahurip, Garut, West Java
Gunung Sadahurip, Garut, West Java
Bentuknya kok begitu simetris ya? Lancipnya sangat simetris,” ujar arkeolog senior Profesor Edi Sedyawati di kediamannya di Jakarta, Rabu, 23 Februari 2011.
Namun, kata Edi, klaim dan hasil uji geolistrik masih belum cukup untuk mendapatkan kesimpulan akhir.
Langkah selanjutnya adalah penggalian percobaan pengambilan sampel dengan memuat sebuah test bed untuk mengetahui apa benar ada indikasi lapisan-lapisan budaya dan ada bekas-bekas perbuatan manusia atau tidak.
Tapi ini harus betul-betul penggalian arkeologi yang meminta izin kantor suaka purbakala dan melibatkan arkeolog, karena harus ada pertanggung jawaban dan laporan, dari mili ke mili (milimeter, red),” kata Edi Sedyawati.
Turangga Seta pun tengah mengusahakan izin pengambilan sampel tanah di Gunung Lalakon kepada Pemda Jawa Barat. “Kami hanya perlu menggali tanah di lokasi, selebar sekitar 3-4 meter dengan kedalaman sekitar 3 meter,” kata Agung.
***

Gunung Lalakon

Batu Tapak, Gunung Paseban, nearby Gunung Lalakon Bandung, West Java
Batu Tapak, Gunung Paseban, nearby Gunung Lalakon Bandung, West Java
Gunung Lalakon dikelilingi beberapa bukit lain seperti bukit Paseban, Pancir, Paninjoan, Pasir Malang. Di bukit Paseban ada tiga buah batu, yang dua di antaranya terdapat telapak kaki manusia dewasa, dan telapak kaki anak-anak.
Menurut Edi, bila benar batu telapak itu peninggalan sejarah, kemungkinan ini berasal dari zaman megalitikum. Batu telapak juga sudah dijumpai di tempat lain, seperti prasasti Ciaruteun, peninggalan Raja Purnawarman dari Kerajaan Tarumanegara. “Cap telapak kaki biasanya diabadikan sebagai monumen mengenang pemimpin suatu daerah,” kata Edi.
Cap kaki juga erat kaitannya dengan konsep Triwikrama atau tiga langkah yang berkembang di masa itu. Saat itu, mereka percaya bila seseorang hendak naik ke dunia dewa-dewa, mereka harus menjejak dengan keras agar dapat melompat tinggi sekali.
Gunung Lalakon, Soreang, Bandung, West Java
Gunung Lalakon, Soreang, Bandung, West Java
Sementara itu, di Gunung Lalakon  juga terdapat beberapa situs batuan, seperti Batu Lawang, Batu Pabiasan, Batu Warung, Batu Pupuk, Batu Renges, Batu gajah, dan sebuah batu panjang yang terletak di atas puncak.
Menurut Abah Acu, tokoh masyarakat Kampung Badaraksa, secara filosofis, Gunung Lalakon adalah perlambang sebuah lakon dari kehidupan manusia. Batu-batu tadi merepresentasikan berbagai lakon atau profesi yang dipilih oleh manusia.
Namun, keberadaan batu-batu tadi kerap disalahgunakan. Banyak orang datang ke tempat batu di Gunung Lalakon mencari pesugihan. Bahkan, menurut Jujun, tokoh agama Islam di tempat itu, dulu banyak orang datang ke Batu Gajah mencari ilham judi buntut. “Banyak pula yang berhasil menang,” kata Jujun.
Jujun menerangkan, di Gunung Lalakon secara rutin juga digelar acara ritual tolak bala, yakni dengan membuat nasi tumpeng kemudian dibagikan dan dimakan oleh penduduk. “Acara ini diadakan setiap tahun, biasanya setiap tanggal 1 Syuro.”
.

Gunung Sadahurip

Berbeda dengan tradisi di Gunung Lalakon, masyarakat di sekitar Gunung Sadahurip relatif lebih ‘modern’. Menurut Nanang, warga Kampung Cicapar Pasir, kampung terdekat Gunung Sadahurip, di sana tak ada tradisi tolak bala. Masyarakat sekitar juga tak terlalu peduli dengan mitos gunung itu di masa lalu.

Gunung Sadahurip, Garut, West Java
Gunung Sadahurip, Garut, West Java
Pakar sejarah dari Universitas Padjadjaran, Prof. Dr. Nina Herlina Lubis, mengatakan di Tatar Sunda yang meliputi Jawa Barat, Banten, DKI, dan sebagian Provinsi Jawa Tengah, terutama dataran tinggi seperti Banten Selatan, Cianjur, Sukabumi, Bandung, Garut, Kuningan, dan Bogor, banyak ditemukan peninggalan budaya megalitikum.
Tinggalan-tinggalan itu di antaranya berupa  batu menhir, bangunan berundak, batu lumpang, peti kubur batu, batu dakon, dan arca megalitik. (baca: Ini Dia!! Megalith “Gunung Padang” Jabar, “Stone Henge” Versi Indonesia)
Namun, Nina menjelaskan, sejarah di Tatar Sunda tak mengenal bangunan piramida karena tak ada kebiasaan di Tatar Sunda membuat bangunan piramida dengan ketinggian hampir ratusan meter sebagai tempat suci. “Tempat suci di Tatar Sunda ini seringkali disebut multi-component sites atau situs berkelanjutan,” kata Nina melalui surat elektronik.
Bila pada masa prasejarah tempat suci itu dikenal sebagai punden berundak-undak, tempat pemujaan leluhur, maka ketika budaya Hindu Budha, yang hidup pada masa Kerajaan Tarumanegara dan Kerajaan Sunda (669-1579 M), tempat suci itu terus dipergunakan.
Hanya saja menhir dijadikan sebagai lingga, lalu bangunan berundak itupun diwujudkan dengan gunung yang di atasnya dibangun lingga. Saat Kerajaan Sunda runtuh, maka lingga pun diganti dengan nisan bagi makam tokoh yang dianggap keramat.
Gunung Sadahurip, Kabupaten Garut, West Java.
Gunung Sadahurip, Kabupaten Garut, West Java.
Saat diberitahu di bukit-piramida Bandung maupun Garut ada makam yang dikeramatkan, serta adanya keluarga keturunan Syekh Abdul Muhyi, penyebar agama Islam di kawasan Priangan Timur, yang hidup dua abad setelah Kerajaan Sunda runtuh, Nina berusaha membuat konklusi dan analisa.
Saya menduga bahwa bukit berbentuk piramida ini, adalah mandala (daerah pertapaan berupa dusun mandiri yang terletak di tempat terpencil), yang sudah tercampur dengan budaya yang datang kemudian (yaitu Hindu-Budha-Islam),” ujar Nina.
Namun untuk mengungkap apa sesungguhnya yang tersembunyi di balik bukit berbentuk piramid itu, kata Nina, para geolog harus bekerjasama dengan para arkeolog untuk melakukan ekskavasi (penyingkapan).
***

Sampai ke Istana Presiden

Cerita soal penemuan bukit berstruktur piramida ini rupanya telah sampai pula ke Istana Presiden. Seorang pejabat di lingkaran presiden, mengaku telah dilaporkan ihwal riset itu. Untuk keterangan soal ini, dia minta tak disebutkan namanya, menimbang riset yang belum rampung.
Ya, saya sudah lihat analisis geolistrik dan georadar-nya. Saya menyaksikannya dalam bentuk tiga dimensi. Menakjubkan, dan masih misterius. Tim riset itu dipimpin oleh para geolog terpercaya,” ujar si pejabat itu lagi, Rabu pekan lalu.
Tapi, pejabat itu tak mau menjelaskan detil penemuan. Sang geolog, ujarnya, belum mau diungkapkan ke publik. “Masih didalami oleh tim riset mereka, tetapi dari hasil yang ada, memang mencengangkan,” ujarnya.

Struktur dalam Gunung Piramida di Indonesia
Struktur dalam Gunung Piramida di Indonesia

Konstruksi dalam tanah pondasi piramid, membuat penduduk dekat piramid tidak dapat menggali sumur karena terhalang oleh batuan keras sebagai pondasi piramid (pic: turangga seta)
Dia melukiskan, dari hasil geolisitrik tampak struktur berbentuk piramida di dalam bukit itu. Ada undak-undakan, mirip tangga menuju puncak piramida. Di bagian dasar, ada semacam pintu, dan tampak juga sesuatu yang mirip lorong di dalamnya.
Dia pun menambahkan, para ahli itu percaya ada semacam struktur geologis tak biasa di dalam gunung menyerupai piramida itu. Para ahli geologi itu, kata si pejabat istana, mempertaruhkan kredibilitas keilmuan mereka. “Kita tunggu saja. Kalau riset dan pembuktian ilmiah sudah lengkap, pasti akan dibuka ke masyarakat”.
*

Pihak Asing Berniat Ungkap Misteri Piramida Garut !

“Piramida di Sadagurip diduga lebih tua dan lebih besar dari Piramida Giza di Mesir.”

Selasa 29 November 2011, Riset patahan aktif di Jawa Barat untuk mempelajari bencana di zaman purba berujung pada penemuan mengejutkan: keganjilan berupa struktur piramida di Gunung Sadahurip, Garut, Jawa Barat.
Diperkirakan besar dan usianya melampaui Piramida Giza di Mesir – yang diyakini sebagai makam Firaun, Dinasti keempat Mesir, Khufu, yang dibangun selama lebih dari 20 tahun pada kurun waktu sekitar tahun 2560 sebelum Masehi.
Kini, misteri piramida di Garut, Jawa Barat diharapkan akan segera terkuak. Anggota Tim Bencana Katastropik Purba yang dibentuk Kantor Staf Khusus Presiden Bidang Bantuan Sosial dan Bencana, Iwan Sumule mengatakan, sejumlah peneliti dan arkeolog asing telah menawarkan bantuan dalam proses eskavasi.
“Termasuk dari Prancis, Amerika Serikat, dan Belanda menyatakan minat untuk membantu eskavasi,” kata dia saat dihubungi pada Selasa 29 November 2011.
Dia menambahkan, berdasarkan hasil survei, didukung sejumlah data, termasuk hasil foto IFSAR – lima meter di atas permukaan tanah, nyata ditemukan adanya struktur piramida yang adalah buatan manusia.
“Semua aspek sudah diteliti, termasuk carbon dating. Di Gunung Sadahurip itu menunjukkan umur batuan 10.000 tahun lebih. Artinya kalau Piramida Giza di Mesir berusia sekitar 3.000 tahun sebelum masehi, kita (Garut) 10.000 tahun,” tambah dia. “Hasil tes karbon tak bisa ditipu.”
Besarnya pun melampaui piramida di Mesir. Menurut Iwan, tinggi piramida Garut diperkirakan 200 meter. “Makanya kami perkirakan, lebih tinggi dan lebih tua tiga kali lipat dari Piramida Giza di Mesir.”

Piramida Sadahurip dan Piramida Giza
Peradaban mana yang sedemikian maju dan bisa membangun piramida sebesar itu?
“Kami eskavasi dulu, baru bisa mengetahui lebih lanjut”.
“Ini akan menguak, peradaban masa lalu yang mengagumkan bisa berasal dari bumi nusantara,” tambah Iwan.
Ditanya soal agenda eskavasi, Iwan menjelaskan, pihaknya kini sedang berkoordinasi dengan semua pihak terkait. “Ketika semua sudah siap, baru akan melakukan eskavasi. Ini tidak gampang, tidak seperti cangkul-mencangkul tanah. Ini sangat berharga, berumur ribuan tahun,” kata dia.
Semua aspek, dia menambahkan, perlu dibicarakan dengan semua instansi terkait — memberikan pemahaman, bahwa di tempat tersebut ditemukan piramida. “Untuk tahap awal melalui kepala desa, mereka menerima, mudah-mudahan saat eskavasi jalan, sudah terbuka semua,” kata dia. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono juga sudah diberi tahu soal temuan ini.
Keberadaan piramida tersebut, Iwan menambahkan, dapat memberikan efek positif bagi masyarakat Garut dan sekitarnya, khususnya aspek ekonomi dan sosial. “Kami gembira tim peneliti mancanegara berniat langsung datang,” kata Iwan. “Ini akan membalikkan semua pandangan orang terhadap dunia prasejarah.”
Sebelumnya, Tim Katastropik Purba juga mengatakan, bangunan diduga piramida bukan hanya di dalam Gunung Sadahurip. Juga ditemukan di tiga gunung lain di Garut. “Hasil survei di Gunung Putri, Gunung Kaledong dan Gunung Haruman sudah bisa diambil kesimpulan  bahwa ada “man made” yang diduga kuat piramida,” ujar Tim.
Penelitian juga dilakukan di Gunung Padang, Cianjur, di mana batu-batu megalitikum tersebar luas di kawasan sehektare lebih. Melalui tes geolistrik, Tim menyimpulkan di situs Gunung Padang yang juga disebut sebagai peninggalan megalitikum terbesar di Asia Tenggara itu terdapat struktur punden berundak yang mirip piramida. (baca: Ini Dia!! Megalith “Gunung Padang” Jabar, “Stone Henge” Versi Indonesia)
Pada 5 November, Tim yang sama juga melansir, Gunung Klothok dan sebuah gunung di Sleman, juga diduga menyimpan struktur piramida di dalamnya. (baca: Kini Giliran Jawa Timur, Ditemukan Bangunan Mirip Piramida!) (umi/vivanews/icc.wp.com)
*

Jerman Siap Bantu Kuak Misteri Piramida Garut

“Ilmuwan asing ingin membuktikan hipotesa, nusantara pernah jadi pusat beradaban dunia.”

Gunung Sadahurip atau Gunung Putri di Garut, Jawa Barat diyakini bahwa bukit itu tak hanya sekedar onggokan tanah, namun menyimpan sebuah rahasia besar: sebuah piramida.
Menurut perkiraan, besar dan usianya melampaui Piramida Giza di Mesir. Tingginya diduga mencapai 200 meter, usianya sekira 10.000 tahun. Benar atau tidaknya klaim tersebut, masih menunggu pembuktian melalui proses eskavasi.
Prof. Dr. Dominik Bonatz Project director Archaeologist Free University of Berlin
Prof. Dr. Dominik Bonatz, Project director Archaeologist, Free University of Berlin, Germany. (photo courtesy: tanahdatararchaeology.blogspot)
Terkait eskavasi, anggota Tim Katastropik Purba yang ikut menemukan gunung piramida, Iwan Sumule mengatakan, sejumlah peneliti dan lembaga asing telah menawarkan bantuan. Berupa tenaga peneliti, juga dana.
“Kami sudah dikontak, mereka akan memberi bantuan dana dan ajukan kerjasama penelitian, bahkan sudah dirancang juga oleh sebuah yayasan Jerman,” ujar Iwan dalam perbincangan, Kamis 29 Desember 2011.
Pihak yang sudah mengajukan tawaran kerjasama, adalah sebuah lembaga peneliti Jerman, Deutsche Orient-Gesellscaaft (DOG) dan peneliti, Prof. Bonatz, juga dari Jerman.
Profesor Stephen Oppenheimer
Profesor Stephen Oppenheimer
Sebelumnya, masuk daftar peneliti yang tertarik dengan piramida Garut adalah Stephen Oppenheimer, ahli genetika dan struktur DNA manusia dari Oxford University, Inggris.
Ia adalah penulis buku “Eden in The East”, yang mengungkapkan bahwa peradaban yang ada sesungguhnya berasal dari Timur, khususnya Asia Tenggara. (baca: Ilmuwan: Peradaban Dunia Berawal dari Indonesia!)
Alasan ketertarikan itu, kata Iwan, karena mereka pernah menulis buku atau studi tentang piramida.
Sekaligus membuktikan hipotesa soal peradaban maju yang konon berada di nusantara. “Titiknya di daerah Sunda, mereka sudah memprediksi dalam bukunya, dia (Oppenheimer) sudah memprediksi,” tambahnya.
Untuk memperlancar proses eskavasi, pihaknya akan mengadakan pertemuan khusus dengan Oppenheimer pada bulan Febuari 2012 di Bali bersamaan dengan pertemuan peneliti budaya seluruh dunia.
Dalam pertemuan itu, akan dibicarakan berbagai hal untuk memperlancar eskavasi. “Kami bicarakan teknis eskavasi nanti bagaimana juga berbagi data terkait dengan piramida. Dia juga sudah meneliti piramida di daerah Timur Tengah,” lanjut Iwan.
Tunggu pembuktiannya
Meski menimbulkan harap dan menerbitkan rasa penasaran, sejumlah pihak mempertanyakan klaim piramida di nusantara. Apalagi, Indonesia tak mengenal adanya piramida.
Menanggapi berbagai pro kontra itu, Iwan meminta pihak yang menyangsikan untuk menunggu hasil penelitian. “Kita buktikan saja dengan tahapan ilmiah, metode ilmiah. Itu sudah kita lakukan,” kata dia.
Ketertarikan peneliti asing, dia menambahkan, juga memperkuat klaim tersebut. “Peneliti asing pasti sudah mempelajarinya, tidak mungkin mereka antusias terus tidak meyakini hal ini,” jelasnya. “Masa orang luar yang malah percaya, kita sendiri nggak percaya.”
Ia melanjutkan, masyarakat saat ini juga antusias untuk menunggu kebenaran soal peradaban yang tersimpan dalam piramida tersebut. “Saat ini masyarakat sekitar memang mengeramatkannya. Untuk itu penelitian ini bisa menjawab (rasa penasaran),” dia menambahkan.
Iwan berharap bila ternyata benar terdapat piramida di balik gunung tersebut,  ini akan berdampak positif bagi masyarakat sekitar. “Bisa positif untuk sosial budaya dan ekonomi.” (VIVAnews/icc.wp.com)
*

Ditemukan ‘Batu Bronjongan’ di Gunung Lalakon!

“Batu-batuan itu tersusun rapi membentuk sudut 30 derajat dengan garis horizontal.”

Kamis 17 Maret 2011, Tim Turangga Seta (TS) yang melakukan penggalian di Gunung Lalakon, Soreang, Bandung, Jawa Barat, sejak Senin pekan ini berhasil menemukan beberapa batu boulder yang mereka duga batu penutup bangunan piramida.
Batu-batu boulder itu ditemukan di lubang penggalian dengan lebar sekitar 3 meter, panjang 5 meter, dan kedalaman hingga 4 meter, yang terletak di koordinat 6° 57,5′ Lintang Selatan, 107° 31,239′ Bujur Timur, serta ketinggian 722 meter di atas permukaan laut.
Batu-batu boulder tersebut panjangnya bervariasi, antara 1,1 meter hingga 2 meter, dengan besar yang kurang lebih sama, yakni selebar 30-40 sentimeter (cm) serta tersusun rapi dan teratur.

Penggalian tim Turangga Seta menemukan batu boulder yang tersusun rapi
Menurut pendiri Turangga Seta, Agung Bimo Sutedjo, batu-batuan boulder itu membentuk sudut 30 derajat dengan garis horizontal dan mengarah ke titik pusat piramida. Setidaknya, tim menemukan 4 batu boulder di kedalaman 1,5 meter di bawah permukaan tanah dan 3,7 meter di bawah permukaan tanah.
Agung mengatakan, batu-batu boulder itu merupakan batu bronjongan yang sengaja diatur sedemikian rupa, agar tanah yang menutupi bangunan piramida tidak longsor. Ditemukannya batu-batu ‘bronjongan’ tersebut membuat beberapa tenaga penggali yang notabene warga sekitar Gunung Lalakon sempat tertegun.
“Kalau saya melihat tanah yang digali oleh beko (back hoe) di bukit sebelah, tanahnya tidak seperti ini. Ini tanahnya ada batu-batunya, seperti sengaja diuruk,” ujar Agus Yahya Budiana, warga Kampung Badaraksa yang berada di lokasi penggalian, Rabu 16 Maret 2011.
Namun, penggalian belum menemukan bangunan piramida yang diduga tertimbun di bawah batu-batu boulder yang ditemukan. “Dari petunjuk hasil uji geolistrik, semestinya batuan padat yang diduga bangunan piramida, masih berada sekitar 2 meter di bawah tanah dasar lubang penggalian,” kata Agung.
Gunung Lalakon merupakan salah satu dari beberapa bukit yang diduga oleh kelompok Turangga Seta menyimpan bangunan Piramida. Sebelumnya, Tim Turangga Seta telah melakukan pengujian dengan alat geolistrik bersama tim peneliti dan menemukan citra struktur batuan yang ‘tak alamiah’.
Mungkin inilah masa penantian yang cukup menegangkan. Adakah bukit piramida ini sekadar dongeng ala piramida Bosnia yang berulang, atau memang suatu pengungkapan gemilang tentang adanya suatu peradaban besar di Nusantara yang belum pernah terungkap? Kita dukung, kita tunggu dan kita semua berharap kebenarannya… (ts/vivanews/icc.wp.com)
Penggalian Pyramid Lalakon, Indonesia (Pyramid Excavations)

*

Jurnalis Klaim Temukan ‘Pintu’ Piramida Garut!

“Mereka menemukan benda mirip prasasti di kedalaman tanah 50 centimeter.”

Jum’at 6 Januari 2012, Sekelompok jurnalis dari stasiun televisi mengklaim telah menemukan benda yang dianggap sebagai piramida di Gunung Sadahurip, Garut, Jawa Barat. Mereka juga menemukan benda mirip prasasti yang terbuat dari batu.
“Kami menemukan sebuah benda yang mirip prasasti berbentuk oval dan ada ukir-ukiran,” kata Ali Taba, Jurnalis Trans7 dalam perbincangannya dengan VIVAnews.com, Jumat 6 Januari 2012.
Benda mirip prasasti tersebut, lanjutnya, terbuat dari batu tapi dengan ornamen berbeda dengan prasasti umumnya. “Tekniknya seperti dicungkil. Ada semacam butir-butir pigmen,” katanya.
Mereka menemukan benda mirip prasasti ini setelah menggali tanah sedalam 50 centimeter (cm) di kaki Gunung Sadahurip. “Posisi itu seperti menunjukkan pintu masuk,” ujarnya yang mengaku saat menggali bersamaan dengan hujan besar pada siang sampai sore hari.
Temuan ini kemudian disampaikan ke Tim Katastropik Purba untuk menjadi bahan dalam proses eskavasi. Tim Katastropik, menurutnya, sangat senang atas temuan ini.
Saat dikonfirmasi mengenai kabar tersebut, Asisten Staf Khusus Presiden Bidang Bantuan Sosial dan Bencana Alam, Iwan Sumule, membenarkan bahwa beberapa jurnalis telah bertemu dengan dirinya untuk menyampaikan temuan mereka.
“Kami senang karena banyak inisiatif dan partisipasi masyarakat dari berbagai kalangan,” kata Iwan. Dia menilai temuan ini tetap berharga meski di kemudian hari ada tim lain yang akan melakukan eskavasi Piramida Garut.
Mengenai riset piramida ini sendiri, staf khusus Presiden Andi Arief mengatakan proses telah masuk ke tahap akhir, finishing. Tim ahli masih harus penuhi satu tahap scientific lagi sehingga dari segala sudut ilmiah bisa terpenuhi.
Tim juga mendengarkan masukan secara informal dari para geologis, vulkanologis, arkeologis senior, ahli filologi, Fakultas Ilmu Budaya UI, periset Bandung, penulis produktif  A Samantho, Penulis dan pembawa acara TV serta pemilik perguruan Dicky Zainal. Secara formal juga sudah melakukan pertemuan dengan wakil dari Arkenas dan Dirjen Kepurbakalaan.

*

Mata Air Dekat “Gunung Piramida” Diselidiki

“Ada bukit yang menjadi lembah yang diduga kuat materialnya menjadi bahan bangunan di Sadahurip.”

Rabu, 11 Januari 2012 – Tim Katastropik Purba kini sedang meneliti mata air yang mengucur di lembah batu Rahong, yang letaknya tidak jauh dari Gunung Sadahurip. Ini terkait dengan dugaan ada struktur “man made” yang tersimpan di balik gunung tersebut: “Piramida Garut”.

Lembah dan Perkebunan Teh Rahong - Pangalengan
Anggota tim, Iwan Sumule menjelaskan, lembah batu Rahong, lokasi mata air itu, juga punya keunikan.
Diduga sebelumnya ia adalah gunung, yang karena sebuah proses berubah menjadi lembah. “Diduga kuat materialnya menjadi bahan bangunan di Sadahurip,” ujarnya.
Berdasarkan hasil IFSAR, juga hasil geolistrik, lanjut Iwan, terlihat pernah ada kegiatan penambangan bukit sampai terbentuk tebing batu Rahong.
Petunjuknya, lembah batu Rahong memiliki karakteristik yang sangat berbeda dengan pola kelongsoran tebing alami karena tidak ada tumbukan longsorannya.
Selain itu, volume material di atas elevasi 110 meter dari puncak bukit Sadahurip sama dengan volume yang berkurang dari lembah tebing batu Rahong.
Untuk membuktikan, benarkah batu di lembah Rahong digunakan jadi bahan bangunan “piramida”? Saat ini sedang dilakukan penelitian intensif terhadap mata air yang ada di bawah lembah.
Untuk diketahui, apakah ada hubungan dengan mekanisme yang ada di gunung “man made” Sadahurip.  “Mata air dari lembah batu Rahong berkarakteristik air artesis sumur dalam,” ujarnya.
Iwan mengungkapkan, untuk riset air lembah Rahong, sementara ini difokuskan pada gelombang yang berubah ubah karena amplitudo (AM) atau fasa (FM) frekuensinya, beresonansi dengan wadahnya.
Agar terjadi resonansi diberikan sekat membran logam yang berpori heksagonal dan ditata seperti Mitochondria. “Kami uji coba dengan frekuensi tetap misalnya gelombang Fibonacci atau Plutna,” katanya.  Juga dilakukan, pemisah molekular H2 dengan O.
Mekanisme ini bersumber pada tekanan, sehingga menimbulkan pergerakan mekanika pada sebuah sistem akselerasi magnetik dan energi kinetik.
“Apabila energi itu secara berlebihan tak tertampung , maka akan membentuk pancaran gelombang cahaya yang sewaktu-waktu terlihat di sekitar Gunung Sadahurip,” kata dia.
Juga wajar kalau muncul dugaan di masyarakat, bahwa air di sekitar Sadahurip menjadi air yang bermutu tinggi sebagai sarana akselerasi sel di tubuh manusia. “Kami sedang melakukan uji laboratorium untuk melihat kecenderungan antioksidan air lembah Rahong,” kata Iwan. “Dan akan dibandingkan dengan air mineral yang ada di Indonesia maupun yang ada di beberapa negara.”

*

SBY Terima Kunjungan Prof Oppenheimer

Kegiatan ini akan ekpose berbagai riset yang dilakukan Tim Bencana Katastropik Purba.

Jum’at, 3 Februari 2012, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dijadwalkan akan menerima Profesor Stephen Oppenheimmer, pakar genetik dan struktur DNA asal Oxford University Inggris yang berteori awal peradaban dunia dari Indonesia (baca: Ilmuwan: Peradaban Dunia Berawal dari Indonesia!), di Istana Negara, Kamis 2 Februari 2012.
Profesor Stephen Oppenheimer
Profesor Stephen Oppenheimer
Pertemuan dengan presiden, direncanakan selain untuk beramah tamah, sekaligus melaporkan rencana kegiatan 4th International Conference on Indonesian Studies (ICSSIS) di Bali.
Juga kegiatan Sarasehan Menguak Tabir Peradaban dan Bencana Katastropik Purba di Jakarta, terselenggara kerjasama Universitas Indonesia, Kantor Staf Khusus Presiden Bidang Bantuan Sosial Dan Bencana, dan Tim Bencana Katastropik Purba.
Staf Khusus Presiden, Andi Arief, menyatakan pihak Universitas Indonesia, yakni Rektor dan Dekanat Fakultas Ilmu Budaya secara khusus akan melaporkan kepada presiden kegiatan International Conference on Indonesian Studies (ICSSIS) di Bali.
“Kegiatan tersebut merupakan ajang informasi berkaitan dengan prestasi dan hasil penelitian terkini di Universitas Indonesia, termasuk kegiatan pembangun Pusaka ‘Pusat Kebudayaan‘ Indonesia, yang selama ini kerjasama telah dilakukan oleh UI dengan lintas instansi, lintas kelompok penelitian dan disiplin ilmu,” kata Andi Arief, dalam keterangannya.
Andi Arief menjelaskan, kegiatan Sarasehan Menguak Tabir Peradaban dan Bencana Katastropik Purba, adalah kegiatan ekpose berbagai riset yang dilakukan Tim Bencana Katastropik Purba dan Kantor Staf Khusus Presiden Bidang Bantuan Sosial Dan Bencana, berkaitan dengan bencana purba yang terjadi di Indonesia, sehingga mampu menyurutkan peradaban di banyak lokasi di nusantara.

Buku "Atlantis The Lost Continent Finally Found" karya Prof. Arroyo Santos
“Pak Oppenheimmer dan Frank Joseph Hoff (asisten Arroyo Santos pengarang buku Atlantis The Lost Continent Finally Found),  akan hadir di Indonesia dalam konteks itu, di Jakarta akan menjadi peserta dalam sarasehan Bencana Katastropik Purba, sedangkan di Bali bersama dengan kami akan menjadi keynote speaker,” jelasnya. (baca: Mungkin, Nusantara adalah The Atlantis yang hilang dan kini dicari)
Menurut Andi Arief, dalam pertemuan dengan SBY akan hadir mendampingi Profesor Stephen Oppenheimmer adalah Rektor UI Prof Gumilar R Sumantri, Dekan Fakultas Ilmu Budaya Dr Bambang Wibawarta, Dr Danny Hilman dari Tim Bencana Katastropik Purba.
Sarasehan Menguak Tabir Peradaban Dan Bencana Katastropik Purba, rencananya akan diselenggarakan di Gedung Krida Bakti Sekretariat Negara pada 7 Februari 2012. Sedangkan untuk acara 4th International Conference on Indonesian Studies (ICSSIS) pada 9-11 Februari 2012, di Bali – Inna Grand Bali Hotel, Sanur.

*

Pendapat Beberapa Pakar Dunia Lainnya

Dibawah ini adalah salah satu dari hasil Geolistrik dari gunung Lalakon yang menunjukkan pola keberadaan bangunan yang mungkin disembunyikan leluhur di dalam gunung Lalakon.

Geolistrik dari gunung Lalakon
Berikut ini interpretasi dari dua pakar lainnya:

Prof. Dr. Sci. Sam Semir Osmanagich (semirosmanagic.com)
1. Menurut Prof. Dr. Sci. Sam Semir Osmanagich
Foreign Member of the Russian Academy of Natural Sciences, Professor of Anthropology at American University in Bosnia-Herzegovina.
Profesor Semir adalah seorang peneliti piramid di Bosnia yang juga menuai kontroversi. Padahal piramid Bosnia mempunyai bukti yang sudah jauh lebih kongkrit ketimbang piramid di Indonesia. Ia juga sedang meneliti piramida di Mauritius.
Sejatinya, profesor yang satu ini memang suka memburu piramida-piramida di seluruh penjuru dunia yang belum terkuak atau yang masih tertimbun.

Keterangan gambar diatas: Piramid Bosnia (kiri) dan Piramid Mauritius (kanan)
“Systematic layer” as identified by geoelectrical survey is a very concrete evidence for the artificial origin. Previous excavation and several archaeological trenches show the presence of boulders in certain order.”
“Lapisan sistematis” seperti yang diidentifikasi oleh survei geolistrik adalah bukti yang sangat konkret untuk bukti keberadaan. Sebelumnya penggalian dan beberapa parit arkeologi menunjukkan adanya batu-batuan dalam urutan tertentu.”

Prof. Dr. Sayogi Sudarman
2. Menurut Prof. Dr. Sayogi Sudarman
(Pakar Geothermal Explorationist dan Pakar Geophysicist):
“Bukit ini buatan manusia karena gunung api kalau meletus pasti akan keluar magma yang tebal dibagian atas dan makin kebawah makin tipis.”
“Namun yang terdapat pada gunung ini terdapat lapisan mendatar yang sangat sistematis dan mempunyai ketebalan yang relatif sama, kemudian juga terdapat batuan keras padat, kemungkinan marbel (marmer) yang secara kelistrikan bersifat resistif berbentuk anak tangga, dengan kemiringan delapan derajat.” (eh/ts/vivanews/icc.wp.com)
*

Diskusi ‘Harta Karun’ Sadahurip Bakal Tayang di Seluruh Dunia

Jakarta Senin, 06/02/2012 – Istana melalui Staf Khusus Kepresidenan bidang Penanggulangan Bencana menggelar diskusi terkait ‘harta karun‘ berusia ribuan tahun di Gunung Sadahurip, Garut, Jawa Barat. Diskusi ini bakal ditayangkan di seluruh dunia. Wah!
“Akan diliput oleh hampir seluruh media masa nasional, dan beberapa media masa internasional. Selain itu akan ditayangkan langsung ke seluruh dunia, melalui TV live streaming,” kata Staf Khusus Kepresidenan bidang Penanggulangan Bencana, Andi Arif, Senin (6/2/2012).
Andi mengatakan, diskusi Selasa (7/2) esok berisi ekspose hasil-hasil penelitian tentang bencana katastropik purba. Kegiatan akan digelar pukul 09.00 – 15.00 WIB di Gedung Krida Bhakti, Sekretariat Negara, Jl Veteran No 12, Jakarta.

Andi Arif
Dalam acara akan diperkenalkan pula Tim Peneliti Bencana Katastropik Purba (BKP), dan spesifik penemuan terbaru tentang Gunung Padang di Cianjur dan Gunung Sadahurip di Garut. Peserta yang sudah terdaftar mencapai 400 orang.
“Terdiri dari berbagai kalangan khususnya bidang kebumian, arkeologi, antropologi, dan lainnya dari berbagai perguruan tinggi, komunitas, lembaga penelitian, masyarakat umum, dan pemerintah,” jelas Andi.
Sebelumnya Andi yakin ada bangunan bersejarah ditemukan di pegunungan di Garut. Umur bangunan yang terpendam dalam gunung itu diyakini lebih tua dari Piramida Giza di Mesir.
Namun keyakinan Andi Arief dan timnya tersebut diragukan kalangan lainnya. Arkeolog UI, Irmawati M Johan, menyebut bangunan tertua di Indonesia yang ditemukan dan sudah diteliti berdasarkan bukti ilmiah adalah candi yang dibangun pada abad 7 Masehi. Belum ada bangunan yang ditemukan sebelum era Masehi.
Sekadar catatan, Piramida Giza di Mesir selama ini dikenal sebagai piramida tertua dan terbesar dari 3 piramida yang ada di Nekropolis Giza. Dipercaya bahwa piramida ini dibangun sebagai makam untuk firaun dinasti keempat Mesir, Khufu, dan dibangun selama lebih dari 20 tahun dan diperkirakan berlangsung pada sekitar tahun 2560 sebelum Masehi. (Detiknews/icc.wp.com)
*

Soal Piramida Butuh Penelitian Geologis

Wawancara Profesor Stephen Oppenheimer

Jakarta Sabtu, 11/02/2012 – Stephen Oppenheimer begitu sohor di Asia Tenggara setelah menerbitkan buku berjudul “Eden in The East: Benua yang Tenggelam di Asia Tenggara”. Buku itu terbit pada tahun 1998.
Buku ilmiah  itu diramu dari pengalamannya menjadi dokter di sejumlah negara di Pasifik dan Asia Tenggara.
Dia menjadi dokter di kawasan itu antara tahun 1973 hingga 1990-an. Pengalaman menjadi dokter bertahun-tahun itu diramu dengan  temuan genetika, geologi, arkeologi, sejarah, bahasa dan kelautan, maka lahirlah buku tadi.
Dalam buku itu Oppenheimer menulis tentang benua yang hilang di Asia Tenggara, sebuah dataran yang dua kali lebih luas dari India masa kini. Dataran itu dulu menyatukan Pulau Jawa, Kalimantan dan Sumatera dengan daratan Asia.
Setidaknya, begitu ia menulis dalam buku itu tiga kali “banjir besar” menenggelamkan sebagian besar daratan itu, yang menurut Oppenheimer membuat rakyat berpencar ke berbagai penjuru terutama Pasifik.  Sepanjang karirnya sebagai dokter, Oppenheimer  pernah bertugas  di Malaysia, Papua Nugini, Hong Kong, Nepal dan Kenya.
Banjir besar terakhir itu, kata Oppenheimer yang juga menjadi konsultan acara “The Incredible Human Journey” di BBC itu, terjadi pada 8.000 tahun yang lalu.
Cerita  Oppenheimer ini disebut sejumlah kalangan ‘nyambung’ dengan cerita Atlantis yang hilang, meski dosen di School of Anthropology Universitas Oxford ini menghindar jika kesimpulannya itu dikaitkan dengan mitos itu.
Profesor Stephen Oppenheimer
Profesor Stephen Oppenheimer
Penjelasan Oppenheimer ramai diperbincangkan belakangan ini di tengah  Tim Katastrofi Purba yang dibentuk Staf Khusus Presiden bidang Bencana Alam dan Bantuan Sosial Andi Arief  melakukan penelitian  pada sejumlah tempat yang diduga bersejarah, yang  menguatkan dugaan  adanya bencana besar yang membuat sejumlah peradaban tertimbun.
Tim juga menemukan indikasi bangunan kuno yang berdasarkan uji karbon atas arang yang ditemukan di dekatnya mendekati usia 6.700 tahun yang lalu.
Bagaimana pendapat Oppenheimer yang lulus Fakultas Kedokteran University of London pada 1971 itu mengenai temuan-temuan Tim dari Istana itu? Oppenheimer menjawabnya dalam wawancara khusus di Grand Bali Beach, Denpasar Bali, Rabu 8 Februari 2012 lalu.
Dari sejumlah temuan terakhir, tidakkah Anda melihat ada cukup bukti keberadaan piramida di sini?
Yang paling penting dari soal piramida ini adalah memastikan apakah temuan itu sebuah monumen atau sebuah struktur geologi.  Dulu ada orang  yang menemukan sebuah bangunan di bawah air di Yonaguni Jepang. Setelah ditelitii ternyata itu bukanlah monumen, melainkan sebuah struktur geologi.
Sebuah formasi bebatuan, namun mungkin ada modifikasi di atasnya. Yonaguni adalah sebuah contoh, dari sebuah struktur geologis, yang terlihat seperti monumen tapi bukan monumen. Yonaguni adalah sebuah kawasan paling selatan Jepang yang bersisian dengan perairan Taiwan. Tahun 1998, penyelam menemukan struktur bebatuan yang terlihat tertatah rapi di dasar laut. (baca: 12 Peninggalan Sejarah Paling Misterius Di Dunia)

Apakah sudah ada kesimpulan final bahwa Yonaguni adalah struktur geologis?
Saya membaca tentang itu. Saya memang bukan geolog, namun ada seorang geolog yang tertarik. Dia lalu ke sana menyelam untuk memastikannya.
Bukankah soal ini Anda singgung juga di buku “Eden in the East”?
O, iya. Buku saya dicetak di tahun 1998, dan gambar Yonaguni  itu ada.  Penerbit saya mengatakan masukkan dia ke dalam.  Jika Anda membaca versi Bahasa Inggris, Anda akan menemukan kualifikasi Yonaguni itu. Apakah buatan manusia, dimodifikasi manusia, atau sebuah struktur geologis.
Jadi Anda harus paham apa arti ungkapan ilmiah “dismissal”.  Intinya adalah bahwa saya tidak mengatakan bahwa saya tidak percaya, saya hanya membutuhkan bukti lebih lanjut, baru saya bisa berkomentar.
Apakah Anda tidak melihat bukti dari penemuan terakhir di Gunung Sadahurip
Semua yang saya lihat di VIVAnews, sebuah gambar formasi bebatuan yang mungkin saja gunung vulkanik. Itu hanya gambar. Apa yang kita butuhkan adalah sebuah penyelidikan geologis. Tapi saya perlu tekankan sekali lagi bahwa bukan berarti saya tidak percaya. Saya hanya minta bukti lebih lanjut.  Dan bukti itu harus dipublikasikan di jurnal ilmiah. [Oppenheimer lalu meminta VIVAnews membuka bukunya, Eden in the East]
Semua apa yang saya jelaskan itu ada dibuku ini. Buku ini diterbitkan di Inggris tahun 1998. Namun kami menambahkan kata pegantar baru. Kami melakukan banyak riset. Dan mempublikasikan riset-riset itu dalam jurnal ilmiah.
Saya juga menjelaskan hasil riset-riset itu dalam buku ini. Anda bisa lihat referensinya di kata pengantar baru, di bagian belakang buku, bahwa hasil riset-riset itu telah dipublikasikan di banyak jurnal.
Nah, kini yang ingin saya sampaikan kepada Anda adalah bahwa saya belum melihat bukti publikasi mengenai penemuan di Gunung Sadahurip.
Anda mengatakan, sebuah kebudayaan besar harus memiliki sistem bercocok-tanam, pengetahuan berlayar, dan lain-lain. Tidakkah Anda melihatnya di sini?
Saya melihatnya.  Di Indonesia Anda melihat hewan peliharaan bernama sapi. Dahulu kala, sapi itu didomestikasi di Banteng. Itu sudah dulu sekali. Ayam yang kami punyai di Barat, juga didomestikasi di sini. Usia domestikasi ayam 16.000 tahun lampau. Juga babi dan anjing , semuanya didomestikasi di semenanjung Melayu. (Dalam arti yang sederhana, domestikasi merupakan proses “penjinakan” yang dilakukan terhadap hewan atau tumbuhan liar.)
Kerbau juga didomestikasi di sini. Gambarnya muncul di relief di Mesopotamia tiga ribu tahun sebelum Masehi. Jadi jelas bahwa hewan peliharaan datang dari Asia Tenggara ke peradaban Barat. Itu bukti gambar. Tanah air kerbau rawa itu adalah di sini,  tapi muncul 4.500 tahun yang lalu di Mesopotamia.
Bukti lain adalah orang berlayar. Jika melihat genetika manusia,  maka Anda akan melihat bahwa karena kenaikan permukaan air laut maka orang keluar, berpencar ke Malaka, Nusa Tenggara dan Sulawesi. Mereka pasti pergi dengan naik perahu. Pada tahap pertama, mereka pergi ke tempat terdekat seperti Sulawesi, Lombok, Sumba dan Filipina.
Dan Bali?
Dulu Bali terkoneksi dengan Jawa. Bali adalah  bagian dari daratan utama (Sundaland). Lombok adalah pulau pertama sebelum kenaikan muka air laut.
Jika Anda mencari bukti dalam dunia pelayaran, maka Anda akan mendapat bukti penangkapan ikan di Timor. Di sana ada alat pemancingan ikan dari 10 ribu tahun lampau.  Ada juga alat dari kerang.  Alat dari kerang yang ditemukan di timur Indonesia itu, sangat mirip dengan yang saya temukan di Pasific. Sangat tua.
Elemen zaman batu muda (neolitik) adalah domestikasi, keramik dan pelayaran. Ingat, pertanian bukan satu-satunya bentuk domestikasi. Yang telah didomestikasi di Indonesia adalah umbi-umbian seperti talas dan ketela. Dan Papua adalah pisang.  Pisang pertama di dunia datang dari Papua dan usianya 10 ribu tahun.
Itu bukti genetika?
Bukan. Itu bukti arkeologis.
Bagaimana dengan padi? Saya pernah baca DNA beras datang dari India?
Cerita genetika padi  sangat rumit. Mari mulai dengan penanggalan arkeologis, lebih mudah. Lalu baru balik ke genetika. Padi tertua yang ditemukan di Sarawak, Kalimantan. Padi ditemukan di pot yang retak. Di dalamnya ditemukan butiran padi  dan kapur. Ilmuwan lalu menggunakan karbon dari padi  itu untuk mengetahui penanggalannya. Dan angkanya 5.200 tahun lalu.
Namun beras ini datang dari semenanjung Melayu dan agak terlokalisir di utara Kalimantan. Di timur Indonesia, padi tak ada sampai 2000 tahun lalu. Jadi agak baru. Jawa juga relatif terlambat, namun saya lupa angka pastinya.
Jadi, apa yang dimakan nenek moyang kami?
Umbi-umbian seperti talas dan sagu. Sagu ini cukup penting karena tumbuh liar. Di Mentawai, di pulau lepas pantai Sumatera Barat, mereka memanen sagu. Sagu juga penting di Papua. Satu-satunya umbi-umbian yang tidak dari sini adalah ubi jalar. Dia dari Amerika. Selain itu, semuanya didomestikasi di sini.  Juga ada pisang, kacang kenari dan kelapa yang didomestikasi di sini.
Kembali ke sagu, ada sebuah riset mengenai Kerajaan Sriwijaya bahwa rahasia kebesarannya salah satunya sagu. Mereka tak harus menanamnya, cukup tebang, biarkan seminggu lalu Anda akan dapatkan sagu. Bagaimana dengan itu?
Teknologi untuk sagu ini sangat tua. Anda menemukannya di seluruh Papua dan Pasifik juga. Tidak harus ditanam. Dengan sagu, orang-orang bisa berdiam di satu tempat. Mereka tidak harus berpindah-pindah seperti pemburu dan peramu. Di daerah rawa, Anda akan dapat banyak sagu.
Orang-orang Polinesia tidak menanam padi. Mereka makan sagu, talas, dan ketela. Namun produk mereka ini datang dari sini.
Kembali ke pertanyaan pertama Anda, saya tidak bermaksud mencari sebuah monumen. Jika seseorang menemukan monumen dan sangat bangga, itu jelas sangat baik.
Sebuah monumen adalah sebuah peradaban. Karena Anda harus memiliki peradaban untuk membangun monumen. Namun Anda tidak harus memiliki monumen untuk membuktikan peradaban di masa neolitik.
Monumen adalah puncak, produk final dari peradaban. Akar dari peradaban adalah bagaimana memberi makan rakyat dan bagaimana menyelamatkan diri. Berlayar adalah keterampilan neolitik, bukan keterampilan masa berburu dan meramu.
Berlayar adalah bukti dari kegiatan neolitik. Menangkap ikan dengan alat-alat kompleks adalah bukti peradaban. Tanpa pasokan makanan besar-besaran, Anda tak bisa memberi makan populasi yang membangun kota atau monumen.
Apakah itu berarti orang Bugis sebagai contohnya karena memiliki keterampilan berlayar paling hebat?
Anda akan melihatnya besok di presentasi. Umumnya ekspansi populasi terjadi ketika banjir terjadi, terkonsentrasi di Sulawesi, kampung halaman orang Bugis. Tidak hanya Bugis, tapi juga orang Bajo atau Orang Laut
[Presentasi dimaksud Oppenheimer keynote speech di Konferensi Studi Indonesia yang diselenggarakan Fakultas Ilmu Budaya di Hotel Inna Grand Bali Beach, pada Kamis 9 Februari 2012]
Ketika saya menulis buku ini, saya menawarkan “Hipotesis Dua Kereta.” Ada arus migrasi yang terjadi beribu tahun lampau, yang terjadi jauh sebelum angka yang diteorikan antropolog Australia, Peter Bellwood. Bellwood menyebut 3.500 tahun yang lalu, tapi ada yang jauh lebih lampau lagi.
Bellwood berteori bahwa orang-orang datang dari Taiwan, menyebar di Indonesia dan Filipina dan membunuh semua orang di daerah itu. Saya membantah teori itu.  Sebab yang terjadi sesungguhnya adalah sebaliknya. Orang-orang Taiwan berasal dari sini.
Dalam hipotesis saya, ada dua migrasi. Migrasi pertama 6.000 tahun yang lalu. Saya berargumen mereka mengkoloni sebagian Papua Nugini, Kepulauan Bismarck dan Kepulauan Admiralty. Mereka berdagang bebatuan obsidian dari sana ke Sabah. Maksud saya, dari 6.000 tahun lalu, orang menetap di sini, (Oppenheimer menunjuk peta kepulauan Bismarck), dan lalu terjadi pertukaran teknologi.
Apakah mereka dari Maluku?
Iya. Bahkan lebih ke barat; Kalimantan dan Sulawesi. Namun tidak lebih jauh lagi.
Kemudian ada arus orang datang lagi. Lebih sedikit dari yang pertama. Namun dengan teknologi berlayar yang maju sekitar 3.500 tahun lalu. Teknologi baru ini mendorong pergerakan ke seluruh Pasifik. Jadi, ada kereta lambat dan kereta cepat yang umumnya memakai teknologi. Sedikit yang bawa genetika namun banyak bawa teknologi.
Dan pusat penyebaran ke Polinesia ini di Pulau Bismarck. Hal ini dijelaskan dalam makalah baru yang akan diterbitkan. Ada makalah baru di sini .
(Oppenheimer menunjuk daftar pustaka bukunya yang merujuk pada makalah yang ditulisnya bersama P Soares, J Trejaut, Catherine Hill, Maru Mormina, dan lain-lain di tahun 2008 berjudul“Climate Change and post-glacial human dispersal in southeast Asia” dalam Jurnal Molecular Biology and Evolution).
Kami memberi penanggalan atas penanda genetika yang menyebar di Pasifik, yang berasal dari kawasan Bismarck ini dan nenek moyangnya berasal dari 8.000 tahun lalu saat banjir terakhir. Ini jelas cocok dengan banjir terakhir. Jadi, kami melihat bahwa ada kereta lambat yang datang 8.000 tahun lalu dan tiba-tiba berkembang di seluruh Pasifik.
Mengenai pengembangan teknologi ini, coba lihat kata-kata yang terkait pelayaran, hampir semuanya datang dari Indonesia, bukan dari Taiwan. Perahu, Anda tak menemukannya di Taiwan. Jadi, pelaut sebenarnya datang dari kawasan Indonesia ini. Ini sudah diketahui dari dulu, namun tak diacuhkan.
Anda juga mengatakan, beberapa teknologi dibawa ke Barat dari sini. Bagaimana dengan genetika?
Itu sulit. Ada populasi yang sangat besar di Barat. Namun ada pergerakan teknologi, ayam dan babi. Kerbau pergi ke Mesopotamia. Gambar kerbau tiba di Mesopotamia pada milenium ketiga sebelum Masehi. Itu bukti gambar bahwa mereka datang dari sini ke Mesopotamia.
Juga ada cerita terstruktur mengenai banjir. Dalam catatan Sumeria, ada catatan mengenai banjir. Mereka mencatat banjir yang terakhir 8.000 tahun lalu.
Bagaimana dengan teknologi bangunan seperti piramida?
Itu jika Anda menemukan piramida di sini. Masalahnya adalah bahwa piramida itu adalah struktur sederhana. Arkeolog akan berargumen bahwa bisa saja piramida itu ada, sebab itu struktur sederhana.
Banyak orang berkata Atlantis di sini, namun arkeolog akan berkata, “terus bagaimana?” Karena itu juga struktur sederhana. Jika Anda mengunjungi candi di Jawa, naiki saja, dan dia bisa seperti piramida. Namun jika benar ada piramida di sini yang lebih tua dari yang ada di Mesir, tentu sangat signifikan.
Karena itu saya harus hati-hati, karena Anda bisa menghabiskan waktu untuk memburunya. Dan jika ternyata itu adalah  gunung, jelas Anda akan mendapat malu.
Di Indonesia, ada dua genetika utama, Austronesia dan Melanesia. Mengapa mereka sangat berbeda?
Austronesia adalah keluarga bahasa. Anda salah menyatakan bahasa untuk rasa. Austronesia sebuah keluarga bahasa yang menyebar sampai ke Pasifik. Bahasa tidak setara dengan ras. Saya ambil contoh, Orang Prancis berbicara seperti bahasa yang mirip Bahasa Latin hari ini. Namun 2.000 tahun lalu, mereka berbicara dengan bahasa yang mirip Bahasa Celtic.
Orang Prancis mengubah bahasa mereka di masa Imperium Romawi. Ini seperti Singapura, mereka menggunakan Bahasa Inggris sebagai bahasa umum. Lihat, bahasa tidak setara dengan ras, tidak setara dengan arus genetika.
Jika Anda melihat orang Papua Nugini, mereka yang tinggal di pesisir, berbicara bahasa Austronesia. Namun mereka sangat hitam dan berambut keriting. Jadi, bahasa tidak setara dengan ras. Bahasa bukan bukti dari penyebaran orang dari Taiwan.
Pertanyaan lain, lupakan bahasa, di Papua Nugini sendiri terdapat empat keluarga bahasa.
Apakah itu berarti orang Papua Nugini sangat tua secara genetis?
Ya, mereka sangat tua. Penemuan arkeologi terakhir 45 ribu tahun dan seharusnya lebih tua lagi. Di Australia, tahun perkiraannya 60.000 tahun yang lalu. Katakanlah, orang datang dari Afrika ke sini 70.000 tahun yang lalu, setelah letusan Gunung Toba; lihat mereka sangat cepat sampai ke Papua Nugini dan Australia.
Jika melihat genetika di Papua Nugini dan Australia, terlihat mereka di koloni pada masa yang hampir bersamaan. Dan sepanjang masa mencapai Australia dan Nugini, 60.000 tahun lalu, orang harus menyeberang lautan untuk mencapainya.
Bagaimana mereka melakukannya?
Dengan kapal atau rakit. Beberapa orang mengatakan mungkin saja dengan mengapung tak sengaja. Namun itu hanya satu orang, akan sangat beruntung jika dua orang. Namun buktinya, bukti kolonisasi di Australia dilakukan banyak orang dari garis keturunan berbeda-beda. Ini memang tak mudah namun bukan tak mungkin dengan rakit.
Jangan lupa, ada Kepulauan Solomon di Pasifik. Mereka sampai di sana 30.000 tahun yang lalu. Mereka sudah berlayar, berkano, lebih dari ratusan mil.
Garis di sini, yang memisahkan Bali dan Lombok, Sulawesi dan Kalimantan— garis Wallace, telah menjebak orang di sini (Papua Nugini) dalam isolasi relatif. Anda tahu maksudnya relatif? Sebagian. Jika Anda bisa mencapai Indonesia timur, Anda bisa ke sana lagi. Garis Wallace ini seperti penghalang, seperti filter.

Makassar channel (Wallace channel type)
Jadi, orang-orang di sini (Papua Nugini dan Australia), relatif tidak tercampur. Mereka hampir seperti pendatang pertama.  Orang-orang Nugini terlihat seperti orang Afrika.
Lalu apa yang menyebabkan perbedaan tampilan?
Jika Anda melihat perubahan pada orang-orang non-Afrika, ada perubahan namun tidak besar. Beberapa di antaranya hanya mengalami perubahan yang sangat kecil. Saya beri contoh orang Eropa yang berkulit pucat.
Alasan berkulit pucat karena mutasi tunggal pada enzim yang bertanggung jawab membuat kulit gelap. Mutasi ini mengganggu produksi melanin pada orang Eropa. Mereka tinggal di utara dan cuaca kerap hampir tanpa matahari, sementara vitamin D diproduksi dengan bantuan matahari.
Jika orang-orang Eropa tak berkulit pucat, mereka bisa kekurangan vitamin D. Jadi mutasi adalah adaptasi terhadap kehidupan di utara.
Orang-orang China punya mutasi yang berbeda lagi sehingga membuat mereka memiliki kulit pucat namun rambut tidak menjadi pirang. Mereka beradaptasi dengan cara yang sama dengan orang yang tinggal di utara. Bahkan di India, Anda bisa melihat orang di utara India yang memiliki kulit lebih pucat. (Vivanews/icc.wp.com)
*

Berikut Foto-Foto Penelitian Terakhir Turangga Seta (2012)


Gambar dari penelitian terakhir tim Turangga Seta: Struktur kaki bukit piramida Indonesia, Lokasi: Dirahasiakan. (courtesy: Turangga Seta)

Gambar dari penelitian terakhir tim Turangga Seta: Struktur kaki bukit piramida Indonesia, Lokasi: Dirahasiakan. (courtesy: Turangga Seta)

Gambar dari penelitian terakhir tim Turangga Seta: Struktur kaki bukit piramida Indonesia, Lokasi: Dirahasiakan. (courtesy: Turangga Seta)

Gambar dari penelitian terakhir tim Turangga Seta: Struktur kaki bukit piramida Indonesia, Lokasi: Dirahasiakan. (courtesy: Turangga Seta)

Gambar dari penelitian terakhir tim Turangga Seta: Struktur kaki bukit piramida Indonesia, Lokasi: Dirahasiakan. (courtesy: Turangga Seta)
 ***






 
    

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

NovaBench Score